Senin, 25 Mei 2015

Analisis Implementasi Pembelajaran PJOK dalam Memurnikan Olahraga

BAB I
PEMBAHASAN
A.    IMPLEMENTASI
“Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan”(Usman, 2002:70).
Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh objek berikutnya.
Menurut Guntur Setiawan dalam bukunya yang berjudul Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut :
 “Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif”(Setiawan, 2004:39).
Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa implementasi yaitu merupakan proses untuk melaksanakan ide, proses atau seperangkat aktivitas baru denganharapan orang lain dapat menerima dan melakukan penyesuaian dalam tubuh birokrasi demi terciptanya suatu tujuan yang bisa tercapai dengan jaringan pelaksana yang bisa dipercaya.
Menurut Hanifah Harsono dalam bukunya yang berjudul Implementasi Kebijakan dan Politik mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut : “Implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi tindakan kebijakan dari politik ke dalam administrasi. Pengembangan kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program”(Harsono, 2002:67).



B.     PEMBELAJARAN PENJAS
Pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Jasmani atau dalam mata pelajaran di Indonesia dikenal dengan Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK), seyogyanya PJOK dengan nuansa pedagogis memiliki tujuan  menghasilkan kualitas gerak manusia pada peserta didiknya, bukan semata-mata keterampilan gerak untuk tujuan prestasi olahraga sebagaimana yang masih banyak dilaksanakan guru dalam pembelajaran. Hal ini akhirnya bagaimanapun upayanya tidak pernah tercapai usaha tersebut, karena ditempuh hanya dengan tatap muka sekali dalam seminggu. Padahal menurut teori bahwa keterampilan gerak dapat dikuasai jika dilakukan latihan yang berulang-ulang, apalagi untuk kebugaran jasmani bisa diperoleh dengan latihan dan setelah 48 jam harus melakukan latihan kembali. Maka dalam pembelajaran PJOK mustahil diperoleh keterampilan dan kebugaran jasmani, jika guru tidak pernah menerapkan tugas mandiri dan non terstruktur diluar jam pembelajaran.
Pada konsep pembelajaran PJOK sebenarnya penerapan pendekatan scientifik telah lama diterapkan, jika mengacu pada model-model pembelajaran menurut Muska Mosston (https://onopirododo.wordpress.com/2012/12/14/10-gaya-mengajar-menurut-moska-mosston/) terutama selain model komando. Karena sekian banyak pemahaman guru  PJOK masih mengutamakan tujuan keterampilan olahraga (prestasi), sehingga nilai-nilai pendidikan yang lebih utama sering dikesampingkan. Hal ini yang mengakibatkan kompetensi Inti (Religius, Sikap, Pengetahuan dan Keterampilan) lebih didominasi pada keterampilan semata yang kurang memperhatikan ranah sikap dan pengetahuan khususnya dasar-dasar kualitas gerak.
Berikut diuraikan pendekatan scientific dalam pembelajaran PJOK sebagai dasar dalam pelaksanaan dalam Kurikulum 2013, diharapkan akan menjadikan peserta didik lebih berkembang kecerdasan majemuknya.
A. Pengertian Pendekatan Scientific
Kurikulum 2013 menekankan penerapan pendekatan ilmiah atau scientific approach pada proses pembelajaran. Pendekatan ilmiah (scientific  approach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam permendikbud no 81A tahun 2013 meliputi; mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, mengasosiasi, mengomunikasikan.
Proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘mengapa’. ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘bagaimana’. ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘apa’.
Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Pendekatan ilmiah dalam pembelajaran penjasorkes dapat disajikan seperti berikut ini:
1.    Mengamati
Mengamati adalah proses mengenal objek melalui penggunaan indra yang dimiliki, misalnya dengan melihat/menonton, mendengarkan, dan membaca. Sehingga peserta didik akan memperoleh konsep awal dan menemukan permasalahan-permasalahan dalam materi yang akan dipelajari. Proses ini juga menyebabkan peserta didik memahami obyek secara nyata, senang, tertantang, dan memudahkan pelaksanaan proses pembelajaran selanjutnya.
Contoh kegiatan mengamati dalam pembelajaran materi pokok sepak bola:
Mencari dan membaca informasi variasi dan kombinasi teknik teknik permainan sepak bola (mengumpan, mengontrol, menggiring, posisi, dan menembak bola ke gawang) dari berbagai sumber media cetak atau elektronik. Proses pengamatan ini dapat dilakukan sebelum atau sesudah pembelajaran.
Mengamati pertandingan sepak bola secara langsung dan atau di TV/Video dan membuat catatan tentang variasi dan kombinasi teknik dasar (mengumpan, mengontrol, menggiring, dan menembak bola ke gawang) dan membuat catatan hasil pengamatan, atau
Bermain sepak bola dan yang lainnya mengamati pertandingan tersebut, dan membuat catatan tentang kekuatan dan kelemahan variasi dan kombinasi (mengumpan, mengontrol, menggiring, posisi, dan menembak bola ke gawang) yang dilakukan oleh temannya selama bermain
2.    Menanya
Pada proses ini guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengungkapkan berbagai masalah yang ditemukan pada saat proses pengamatan dengan berbagai bentuk pertanyaan baik yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan kompetensi yang akan diraihnya.
Contoh kegiatan menanya dalam pemainan sepakbola:
Pertanyaan yang berhubungan dengan afektif: bagaimana jalannya permainan sepakbola bila tidak didukung oleh kerjasama team?
Pertanyaan yang berhubungan dengan keterampilan: bagaimana jalannya bola jika titik perkenaan bola dengan kaki dirubah (bawah, tengah dan atas bola)?”, apakah jarak titik tumpu berpengaruh terhadap kekuatan menendang bola?, berapakah kekuatan di transfer ke bola sehingga bola sampai pada jarak yang diinginkan?.
Pertanyaan yang berhubungan dengan kognitif: apa manfaat permainan sepak bola terhadap kesehatan dan otot-otot yang dominan yang dipergunakan dalam permainan sepak bola?
3. Mengumpulkan informasi/eksperimen
Kegiatan mengumpulkan informasi/eksperimen ini merupakan bagian dari kegiatan eksplorasi yaitu untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan terkait dengan pengembangan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Contoh kegiatan eksperimen dalam pemainan sepakbola:
Mengeksperimenkan bermain sepak bola tanpa kerjasama tim
Mengeksperimenkan cara menendang dengan merubah titik perkenaan kaki dengan bola secara individual, berpasangan  atau berkelompok dalam posisi di tempat dan sambil bergerak dasar fundamental dengan menunjukkan nilai disiplin, menghargai perbedaan, dan kerjasama.
4. Mengasosiasi/menalar
Menalar adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Istilah menalar dalam pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan beragam peristiwa untuk kemudian dijadikan sebagai dasar pembuatan keputusan.
Contoh kegiatan menalar dalam pemainan sepakbola:
Mencari hubungan antara titik perkenaan bola dengan kaki dikaitkan dengan arah gerak bola sehingga mampu memilih alternatif terbaik.
Mencari hubungan antara jenis tendangan dengan sasaran yang hendak dicapai sehingga mampu memilih alternatif terbaik.
Mencari hubungan antara permainan sepak bola dengan kesehatan dan kebugaran tubuh.
5. Mengomunikasikan
Mengomunikasikan adalah proses penyajian berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam bentuk penyampaian informasi, peragaan keterampilan, dan sikap dalam pembelajaran atau kehidupan. Contoh kegiatan mengomunikasikan dalam pemainan sepakbola:
Melakukan permainan sepak bola dengan menggunakan peraturan yang dimodifikasi dengan menerapkan gerak dasar fundamental permainan sepak bola (mengumpan, menghentikan, dan menggiring) serta menunjukkan sikap sportif,  kerjasama,  bertanggung jawab, menghargai perbedaan, disiplin, dan toleransi selama bermain.
C.    IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN PENJAS
Langkah-langkah yang ditempuh seorang guru sebagai upaya penerapan gaya pembelajaran dalam pendidikan jasmani melalui program penyetaraan dapat menguasai berbagai gaya pembelajaran pendidikan jasmani.Ketepatan memilih dan menggunakan perlakuan gaya pembelajaran dan kesesuaiannya dengan materi ajar pembelajaran pendidikan jasmani,  terutama yang berhubungan dengan pembelajaran gerak.Pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perceptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka system pendidikan nasional. ( Depdiknas, 2003 ) Tujuan dan fungsi pendidikan jasmani antara lain adalah :
a. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri, dan demokratis, melalui aktivitas jasmani.
b. Mengembangkan ketrampilan gerak dan ketrampilan teknik serta strategi berbagai permainan dan olahraga, aktivitas pengembangan, senam, aktivitas ritmik, akuatik (aktivitas air) dan pendidikan luar kelas (out door education) Perlunya seorang guru menerapkan pembelajaran yang sesuai
Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran guru harus berpedoman pada kurikulum yang di sesuaikan, sehingga diharapkan siswa akan dapat mencapai standar kompetensi pada masing-masing mata pelajaran, dan tujuan dari pembelajaran tersebut dapat tercapai dengan baik.Agartercapai tujuan tersebut guru dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam kegiatan pembelajaran, baik dalam penggunaan media maupun dalam strategi dan pendekatan pembelajaran itu sendiri.Dengan strategi dan pendekatan pembelajaran yang tepat, guru akan dapat menciptakan suasana belajar yang bermakna dan menyenangkan bagi siswa.Belajar akan lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa bila siswa mengalami apa yang dipelajarinya. Agar siswa dapat mengalami apa yang dipelajarinya, diperlukan pendekatan yang tepat. Pendidikan Jasmani pada dasarnya merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhaan bertujuan untuk mengembangkan aspek kesehatan, kebugaran jasmani, ketrampilan berpikir kritis, stabilitas emosional, ketrampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani dan olahraga.
Untuk dapat mencapai tujuan siswa dapat mengembangkan ketrampilan gerak dan ketrampilan teknik, dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani, guru harus memiliki dan menerapkan berbagai strategi pembelajaran maupun pendekatan, serta mampu menggunakan alat-alat pembelajaran yang tersedia, maupun menciptakan atau memodifikasi bentuk-bentuk permainan yang menarik siswa dalam mengikuti pembelajaran.Dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani, guru diharapkan mengajarkan berbagai ketrampilan gerak dasar, teknik dan strategi permainan dan olahraga, internalisasi nilai-nilai (sportifitas, jujur, kerjasama, dan lain-lain) serta pembiasaan hidup sehat. Dalam pelaksanaan pembelajaran guru dapat memberikan berbagai cara agar siswa termotivasi dan tertarik untuk mengikuti pembelajaran. Cara pelaksanaan pembelajaran kegiatan dapat dilakukan dengan latihan, menirukan, permainan, perlombaan, dan pertandingan,sehingga siswa dapat memperoleh situasi dan pengalaman pembelajaran yang lebih konkret, bermakna serta menyenangkan.
Macam-macam strategi pemebelajaran dengan metode pendekatan antara lain Pendekatan konstektual,Pendekatan modifikasi,Pendekatan analisa gerak,Pendekatan bermain.

Pengertian Pembelajaran dengan Cara Pendekatan Kontekstual
*Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
*Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pembelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat .Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Guru dituntut untuk dapat mengkaitkan materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa,dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Pendekatan ini disebut juga Contextual Teaching and Learning (CTL). Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangkapanjang.dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
*Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas
Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini:
-          Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
-          Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik
-          kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
-          Ciptakan masyarakat belajar.
-          Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
-          Lakukan refleksi di akhir pertemuan
-          Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara

Pengertian Pembelajaran dengan Cara Pendekatan Modifikasi
Pendekatan modifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh para guru agar proses pembelajaran dapat mencerminkan DAP. Esensi modifikasi adalah menganalisis sekaligus mengembangkan materi pelajaran dengan cara meruntunkannya dalam bentuk aktivitas belajar yang potensial sehingga dapat memperlancar siswa dalam belajarnya.Modifikasi pembelajaran pendidikan jasmani dianggap penting untuk diketahui oleh para guru pendidikan jasmani. Diharapkan dengan mereka dapat menjelaskan pengertian dan konsep modifikasi, menyebutkan apa yang dimodifikasi dan bagaimana cara memodifikasinya, menyebutkan dan menerangkan beberapa aspek analisis modifikasi. Cara ini dimaksudkan untuk menuntun, mengarahkan, dan membelajarkan siswa yang tadinya tidak bisa menjadi bisa, yang tadinya kurang terampil menjadi lebih terampil. Cara-cara guru memodifikasi pembelajaran akan tercermin dari aktivitas pembelajarannya yang diberikan guru mulai awal hingga akhir pelajaran. Selanjutnya guru-guru pendidikan jasmani juga harus mengetahui apa saja yang bisa dan harus dimodifikasi serta tahu bagaimana cara memodifikasinya.
Dalam penyelenggaraan program pendidikan jasmani hendaknya mencerminkan karakteristik program pendidikan jasmani itu sendiri, yaitu “ Developentally Appropriate Practice” (DAP). Artinya bahwa tugas ajar yang disampaikan harus memerhatikan perubahan kemampuan atau kondisi anak, dan dapat membantu mendorong ke arah perubahan tersebut. Dengan demikian tugas ajar tersebut harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan tingkat kematangan anak didik yang diajarnya. Perkembangan atau kematangan yang dimaksud mencakup fisik, psikis maupun keterampilannya.

Tugas ajar itu juga harus mampu mengakomodasi setiap perubahan dan perbedaan karakteristik individu dan mendorongnya ke arah perubahan yang lebih baik.disini seorang guru pendidikan jasmani harus memahami betul tentang pembelajaran dengan menggunakan pendekatan modifikasi.
Apa yang dimodifikasi ?
Beberapa aspek analisis modifikasi ini tidak terlepas dari pengetahuan guru tentang tujuan,karakteristik materi, kondisi lingkungan, dan evaluasinya. Disamping pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang tujuan, karakteristik, materi, kondisi lingkungan, dan evaluasi, keadaan sarana, prasarana dan media pengajaran pendidikan jasmani yang dimiliki oleh sekolah akan mewarnai kegiatan pembelajaran itu sendiri. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari yang paling dirasakan oleh para guru pendidikan jasmani adalah hal-hal yang berkaitan dengan sarana serta prasarana pendidikan jasmani yang merupakan media pembelajaran pendidikan jasmani yang sangat diperlukan.minimnya sarana dan prasarana pendidikan jasmani yang dimiliki sekolah-sekolah, menuntut seorang guru pendidikan jasmani untuk lebih kreatif dalam memberdayakan dan mengoptimalkan penggunaan sarana dan prasarana yang ada. Seorang guru pendidikan jasmani yang kreatif akan mampu menciptakan sesuatu yang baru, atau memodifikasi yang sudah ada tetapi disajikan dengan cara yang semenarik mungkin, sehingga anak didik akan merasa senang mengikuti pelajaran penjas yang diberikan. Seperti halnya halaman sekolah, taman, ruangan kosong, parit, selokan dan sebagainya yang ada dilingkungan sekolah, sebenarnya dapat direkayasa dan dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani.
Dengan melakukan modifikasi sarana maupun prasarana, tidak akan mengurangi aktivitas siswa dalam melaksanakan pelajaran pendidikan jasmani. Bahkan sebaliknya, karena siswa bisa difasilitasi untuk lebih banyak bergerak, melalui pendekatan bermain dalam suasana riang gembira. Jangan lupa bahwa kata kunci pendidikan jasmani adalah “Bermain – bergerak – ceria”.

Mengapa Dimodifikasi ?
Lutan (1988) menyatakan : modifikasi dalam mata pelajaran pendidikan jasmani diperlukan, dengan tujuan agar :
a)      Siswa memperoleh kepuasan dalam mengikuti pelajaran
b)      Meningkatkan kemungkinan keberhasilan dalam berpartisipasi
c)      Siswa dapat melakukan pola gerak secara benar.
Pendekatan modifikasi ini dimaksudkan agar materi yang ada dalam kurikulum dapat disajikan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik anak.
Menurut Aussie (1996), pengembangan modifikasi di Australia dilakukan dengan pertimbangan :
a) Anak-anak belum memiliki kematangan fisik dan emosional seperti orang dewasa;
b) Berolahraga dengan peralatan dan peraturan yang dimodifikasi akan mengurangi
cedera pada anak;
c) Olahraga yang dimodifikasi akan mampu mengembangkan keterampilan anak lebih cepat dibanding dengan peralatan standar untuk orang dewasa
d) Olahraga yang dimodifikasi menumbuhkan kegembiraan dan kesenangan pada anak-anak dalam situasi kompetitif.
Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa pendekatan modifikasi dapat digunakan sebagai suatu alternatif dalam pembelajaran pendidikan jasmani, oleh karenanya pendekatan ini mempertimbangkan tahap-tahap perkembangan dan karakteristik anak, sehingga anak akan mengikuti pelajaran pendidikan jasmani dengan senang dan gembira

Pengertian Pembelajaran dengan Cara Pendekatan Analisa Gerak
Pendekatan analisa gerak adalah suatu pembelajaran melalui teknik partisipatif untuk membantu siswa membiasakan diri untuk menganalisa gerak agar termotivasi untuk mampu mengoreksi gerakan siswa dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian dirasa perlu guru pendidikan jasmani membiasakan diri menganalisa setiap gerak yang dilakukan siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan khususnya jasmani, agar termotivasi untuk mampu mengoreksi gerakan siswa dalam proses belajar mengajar.pendekatan ini mungkin sangat khusus yang artinya model pembelajaran dengan cara pendekatan analisa gerak tidak mungkin di terapkan pada anak tingkat sekolah dasar,melainkan pada tingkat SLTP,SLTA maupun Perguruan Tinggi.
Pembelajaran ini bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh teknik pembelajaran partisipatif terhadap kemampuan motorik dasar dan penguasaan keterampilan gerak, yakni dengan memanipulasi program pendidikan jasmani melalui dua pendekatan teknik pembelajaran, yaitu dengan teknik demostrasi dan teknik penggunaan alat bantu pandang (visual aids).
D.    TUJUAN PENDIDIKAN JASMANI
DAPAT DIKLASIFIKASI KE DALAM EMPAT KATEGORI :
Perkembangan Fisik : Kemampuan melakukan aktivitas yang melibatkan kekuatan fisik dari berbagai organ tubuh.
Perkembangan Gerak : Kemampuan melakuakan gerak secara efektif, efesien, halus, indah, dan sempurna.
Perkembangan Mental : Kemampuan berfikir dan menginterpretasikan keseluruhan pengetahuan tentang pendidikan jasmani ke dalam lingkungannya sehingga memungkinkan tumbuh dan berkembangnya pengetahuan, sikap, dan tanggung jawab siswa.
Perkembangan Sosial : Kemampuan siswa dalam menyesuaikan dari pada suatu kelompok atau masyarakat.

E.     PEMURNIAN OLAHRAGA
Pemurnian olahraga dimulai dari pendidikan jasmani di sekolah. Nilai-nilai yang terkandung di dalam  pendidikan jasmani diajari sejak di lingkungan sekolah, agar olahraga di Indonesia dapat berkembang dan dipandang di Nasional, Asia maupun di Dunia. Sistem yang diajari di sekolah menjadi harapan untuk perkembangan olahraga. Namun banyak sekali hal yang harus di hindari untuk pemurnian olahraga di negara. Seperti unsur politik, unsur bisnis, unsur alat negara, unsur pembinaan prestasi dan pemetaan.
Olahraga sekarang ini banyak sekali dicampurtangani dengan unsur politik yang berpengaruh besar terhadap perkembangan olahraga. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya. Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara.
Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.
Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.

Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).

UNSUR-UNSUR POLITIK

1. Partai politik
2. Kelompok kepentingan
3. Kelompok penekan
4. Alat komunikasi politik
5. Tokoh politik.

Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik



BAB II
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pembinaan yang dilakukan untuk perkembangan olahraga di negara haruslah dilakukan dengan cara yang harus sistematis dan terprogram. Jangan campur adukkan ke dalam unsur politik untuk kepentingan diri sendiri. Karena pemikiran seperti itu dapat merusak perkembangan olahraga di negara.




Datar Pustaka

https://ikadam23.wordpress.com/2009/11/06/penerapan-teknologi-pembelajaran-dalam-penjas/

Objek Studi Ilmu Keolahragaan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG.
Kata olahraga berasal dari kata olah dan raga. Olah berarti upaya untuk merubah, mematangkan dan menyempurnakan. Sedangkan raga mengacu pada bagaimana kasat mata dari manusia yang tak dapat dipisah-pisahkan dari manusia seutuhnya yang memiliki potensi untuk bergerak.
Olahraga dengan segala aspek dan dimensi kegiatannya, lebih-lebih yang mengandung unsur pertandingan atau kompetisi, harus disertai dengan sikap dan prilaku yang didasarkan pada kesadaran moral. Sikap itu menyatakan kesiapan untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan peraturan. Bahkan, kesiapan itu tidak hanya loyal terhadap ketentuan yang tersirat, tetapi juga kesanggupan untuk membaca dan memutuskan pertimbangan berdasarkan kata hati. Kepatutan tindakan itu diterangi oleh sinar yang bersumber dari batiniah.
Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulai muncul pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan melalui deklarasi ilmu olahraga tahun 1998. Beberapa akademisi dan masyarakat awam memang masih pesimis terhadap eksistensi ilmu olahraga, khususnya di Indonesia, terutama dengan melihat kajian dan wacana akademis yang masih sangat terbatas dan kurang integral. Namun sebagai suatu ilmu baru yang diakui secara luas, ilmu olahraga berkembang seiring kompleksitas permasalahan yang ada dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai bergairah menunjukkan eksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan.
Filsafat, dalam hal ini dianggap memiliki tanggung jawab penting dalam mempersatukan berbagai kajian ilmu untuk dirumuskan secara padu dan mengakar menuju ilmu olahraga dalam tiga dimensi ilmiahnya (ontologi, epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar dengan ilmu lain.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Objek Studi Ilmu Keolahragaan
Karakteristik dari objek studi Ilmu Keolahragaan adalah fenomena gerak manusia. Fenomena gerak ini dalam konteks keolahragaan menjadi amat kompleks karena mengandung muatan biologis, psikologis, dan antropologis. Olahraga adalah bentuk perilaku gerak manusia yang spesifik. Arah dan tujuan orang berolahraga termasuk waktu dan lokasi kegiatan dilaksanakan sedemikian beragam. Ini menunjukkan bahwa olahraga merupakan fenomena yang relevan dengan kehidupan sosial dan ekspresi budaya, termasuk dalam hal ini kecenderungan khas ideologi, profesi, organisasi, pendidikan dan sains. Sedangkan sifat universalitas menunjukkan keanekaragaman olahraga yang dipengaruhi oleh keragaman sosial budaya dan kondisi geografis yang spesifik (Haag, 1994: 13) Fenomena olahraga hadir di masyarakat dan terkontrol di bawah restu nilai dan norma, di samping terikat langsung oleh kapasitas kemampuan biologik (Rusli dan Sumardianto, 2000: 2).
Arah kajian Ilmu Keolahragaan secara khusus adalah ilmu tentang manusia berkenaan dengan perilaku gerak insani yang diperagakan dalam  adegan bermain, berolahraga dan berlatih (KDI Keolahragaan, 2000: 7). Karena itu, esensi dari fokus studi Ilmu Keolahragaan adalah studi dan pendidikan manusia dalam gerak. Tegasnya, arah kajian Ilmu Keolahragaan adalah gerak manusia (human movement), sehingga objek formalnya adalah gerak manusia dalam rangka pembentukan (forming) dan pendidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 7).
Perilaku gerak berlangsung dalam hubungan koordinasi yang amat kompleks namun teratur, cepat, dan halus dari fungsi-fungsi neuro-fisiologis-anatomis yang menyatu dengan fungsi psikologis, sesuai ciri-ciri biologis manusia yang mampu memperbarui energi dan melaksanakan daur ulang, mengatur diri sendiri, beradaptasi, serta kemampuan mempertahankan keseimbangan atau homeostatis sebagai kata kunci untuk bertahan hidup. Ternyata gerak yang tampak dalam perilaku merupakan hasil keseluruhan sistem yang sinkron dan menyatu antara jiwa dan badan yang membentuk satuan individu sebagai pribadi. Unsur fisik-biologis, biokimia, impuls syaraf elektronik menyatu dengan unsur mental dan rohaniah. Manusia menggerakkan dirinya secara sadar melalui pengalaman badaniah sebagai medium mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks pendidikan, khususnya pendidikan jasmani, gerak manusia inilah yang menjadi medan pergaulan yang bersifat mendidik antara peserta didik sebagai aktor, dan pendidik sebagai auctor, pengarah sekaligus fasilitator (Rusli dan Sumardianto, 2000: 1-2).
Hal tersebut selaras dengan pengertian olahraga itu sendiri yang dipahami sebagai proses pembinaan sekaligus pembentukan melalui perantaraan raga, aktivitas jasmani, atau pengalaman jasmaniah (body experience) dalam rangka menumbuhkembangkan potensi manusia secara menyeluruh menuju kesempurnaan. Jadi Ilmu Keolahragaan adalah pengetahuan yang sistematis dan terorganisir tentang fenomena keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh dari medan-medan penyelidikan, di mana produk nyatanya tampak dalam batang tubuh pengetahuan Ilmu Keolahragaan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).
B.     Medan Kajian Ilmu Keolahragaan
Fungsi Ilmu Keolahragaan adalah mengkaji persoalan berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi dan mengungkapkan pengetahuan sebagai jawabannya secara ilmiah. Berkaitan dengan objek formalnya, maka medan pengkajian Ilmu Keolahragaan mencakup spektrum aktivitas pendidikan jasmani yang cukup luas, yang meliputi: (1) bermain (play), (2) berolahraga (dalam arti sport) (3) pendidikan jasmani dan kesehatan (physical and health education), (4) rekreasi (recreation and leisure), dan (5) tari (dance). Hal ini tampak jelas dari sisi praktis atau layanan profesional yang pada gilirannya menjadi lahan subur bagi pengembangan batang tubuh Ilmu Keolahragaan itu sendiri (KDI Keolahragaan, 2000: 9).
a. Bermain
Johan Huizinga melihat permainan sebagai sumber dari bentuk-bentuk kultural paling penting, yang merentang sejak dari hal-hal yang menyenangkan, seperti seni, sampai ke hal-hal yang kurang menyenangkan dan kontroversial, seperti perang. Dalam karyanya Homo Ludens (manusia sebagai makhluk bermain – yang menjadi tesis antropologis-filsafatinya), Huizinga (1950: 18-21) memaparkan karakteristik bermain sebagai dorongan naluri, aktivitas bebas, dan pada anak merupakan keniscayaan sosiologis dan biologis. Ciri lain yang amat mendasar yakni kegiatan itu dilaksanakan secara suka rela, tanpa paksaan, dalam waktu luang. Huizinga menyebutkan juga ciri khusus permainan: ini bukanlah kehidupan “nyata” dan kebebasan mewarnai aktivitas tersebut. Namun patut diingat bahwa sebenarnya Huizinga menegaskan permainan sebagai keberadaan yang “tak serius”, tetapi di saat yang sama menyeret pemainnya untuk bermain intens atau habis-habisan (Huizinga, 1950: 21).
Huizinga melihat bahwa bermain dan berolahraga merupakan kegiatan yang senantiasa ada dalam inti kebudayaan masyarakat, sejak primitif sampai modern (Huizinga, dalam Hyland, 1990: 23). Meskipun “tak serius”, di dalam permainan terdapat nilai pendidikan, sehingga perlu dimanfaatkan sebagai upaya menuju pendewasaan melalui pemberian rangsangan yang bersifat menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental sosial, dan moral yang berguna pada pencapaian pertumbuhan dan perkembangan secara normal dan wajar. Tujuan yang ingin dicapai tersirat di dalam kegiatan itu, suatu ciri yang membedakannya dengan aktivitas ‘bekerja’ (KDI Keolahragaan, 2000: 9-10).
b. Olahraga (Sport)
Istilah olahraga yang digunakan disini merupakan istilah generik, sehingga pengetahuannya tidak terbatas pada pengertian sempit olahraga prestasi-kompetitif-elit untuk sementara olahragawan yang pelaksanaannya dikelola secara formal seperti lazim dijumpai pada cabang-cabang olahraga resmi, tetapi juga jenis-jenis aktivitas jasmani lainnya yang bersifat informal.
Olahraga sebagai kata majemuk berasal dari kata olah dan raga. Olah artinya upaya untuk mengubah atau mematangkan, atau upaya untuk menyempurnakan. Bisa juga olah diinterpretasikan sebagai perubahan bunyi istilah ulah, yang berarti perbuatan atau tindakan. Sedangkan raga berarti badan/fisik. Dengan demikian, secara etimologis singkat, olahraga berarti penyempurnaan atau aktivitas fisik. Abdulkadir Ateng (dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 45) menganggap rancu jika kata olahraga ini dipadankan dengan kata asing sport. Menurutnya, sport hanya sebagian dari isi pengertian olahraga. Ia berasal dari bahasa Inggris Kuno disportare, yang berarti bersenang-senang [bandingkan dengan Rusli dan Sumardianto (2000: 1) yang berpendapat bahwa istilah sport berasal dari kata disport, dan pertama kali muncul dalam kepustakaan pada tahun 1303 yang berarti “sport, past time, recreation, and pleasure”]. Padanan sport yang lebih mendekati aslinya adalah seperti istilah sukan di Malaysia (Indonesia: bersuka-sukaan) (Abdulkadir, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 45).
Makna istilah olahraga memang selalu berubah sepanjang waktu, namun esensi pengertiannya mengandung tiga unsur pokok: bermain, latihan fisik, dan kompetisi (Rusli dan Sumardianto, 2000: 1-2). Dalam “Declaration of Sport”, UNESCO mendefinisikan olahraga berikut ini, yang menyiratkan betapa luas kemungkinan cakupan makna olahraga:
Olahraga adalah setiap aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri (dalam Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).
Definisi lain yang dirumuskan oleh Dewan Eropa pada tahun 1980 yang berbunyi “Olahraga sebagai aktivitas spontan, bebas, dan dilaksanakan selama waktu luang” merupakan interpretasi yang bersifat umum yang kemudian digunakan sebagai dasar bagi sport for all – olahraga masal - yang dimulai di Eropa tahun 1966, dan 27 tahun kemudian Indonesia mencanangkan panji olahraga “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).
Berbagai definisi yang sudah ada tentang olahraga, bagaimanapun harus dilandasi suatu argumentasi yang konsisten. Istilah olahraga yang dipakai sebagai rujukan pengembangan Ilmu Keolahragaan adalah definisi yang bersifat umum, rumusan pedagog asal Jerman, Herbert Haag yang memperoleh pengakuan internasional:
The world sport is not used in the narrow sense of athletics of competitive sport, rather it means the sum of physical activities of formal and informal nature realize mostly in sport discipliness but also in fundamental forms like calisthenics, fitness training, or aerobics (Rusli dan Sumardianto, 2000: 7).
     
Olahraga itu sendiri pada hakikatnya bersifat netral dan natural, namun masyarakatlah yang kemudian membentuk dan memberi arti terhadapnya. Sesuai dengan fungsi dan tujuannya, olahraga dapat dirinci sebagai berikut.
1. Olahraga pendidikan adalah proses pembinaan menekankan penguasaan keterampilan dan ketangkasan berolahraga termasuk juga pembinaan nilai-nilai kependidikan melalui pembekalan pengalaman yang lengkap sehingga yang terjadi adalah proses sosialisasi melalui dan ke dalam olahraga.
2. Olahraga kesehatan adalah jenis kegiatan olahraga yang lebih menitikberatkan pada upaya mencapai tujuan kesehatan dan fitnes yang tercakup dalam konsep well-being melalui kegiatan olahraga.
3. Olahraga rekreatif adalah jenis kegiatan olahraga yang menekankan pencapaian tujuan yang bersifat rekreatif atau manfaat dari aspek jasmaniah dan sosial-psikologis.
4. Olahraga rehabilitatif adalah jenis kegiatan olahraga, atau latihan jasmani yang menekankan tujuan yang bersifat terapi atau aspek psikis dari perilaku.
5. Olahraga kompetitif adalah jenis kegiatan olahraga yang menitikberatkan peragaan performa dan pencapaian prestasi maksimal yang biasanya dikelola oleh organisasi olahraga formal, baik nasional maupun internasional (KDI Keolahragaan, 2000: 10-11).
Karena karakteristik olahraga semakin kompleks, selain mengandung muatan bio-psiko-sosio-kutural-antropologis dan juga teknologis (techno-sport) serta respon lingkungan (eco-sport), maka amat sukar menetapkan sebuah batasan. Namun demikian dapat diidentifikasi ciri yang bersifat umum (common denominator) sebagai berikut:
1. olahraga merupakan subsistem dari bermain: pelaksanaan secara sukareka tanpa paksaan;
2. olahraga berorientasi pada dimensi fisikal: kegiatan itu merupakan peragaan keterampilan fisik;
3. olahraga merupakan kegiatan riil, bukan ilusi atau imajinasi;
4. olahraga, terutama olahraga kompetitif, menekankan aspek performa dan prestasi sehingga di dalamnya terlibat unsur perjuangan, kesungguhan, dan faktor surprise sebagai lawan dari faktor untung-untungan sehingga performa itu dicapai melalui usaha pribadi;
5. olahraga berlangsung dalam suasana hubungan sosial dan bersifat kemanusiaan, bukan membangkitkan naluri rendah, bahkan justru membangun solidaritas;
6. olahraga harus bermuara pada upaya untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan total (wellness) (KDI Keolahragaan, 2000: 11-12).
Secara khusus dan ontologis, Richard Schacht (1998: 126-127) mengemukakan konsepsinya tentang olahraga yang telah dimodifikasi dari pandangan-pandangan sang filsuf martir, Nietzsche, yang pada bagian ini dapat dijadikan acuan tambahan pengembangan Ilmu Keolahragaan.
1. Olahraga menjadi aktivitas psikosomatik yang lepas dan terbuka di mana pikiran, tubuh, dan perasaan seseorang terlibat secara serempak dalam berolahraga.
2. Olahraga memuat sifat kognitif dan utilitarian meskipun tidak dalam kodrat dasariahnya.
3) Olahraga merupakan satu spesies permainan yang khas dalam hal struktur dan intensitasnya.
4) Olahraga meliputi pengolahan dan pengembangan kecakapan, keahlian, dan sensitivitas mental dan motorik, yang dapat diajarkan dan dipelajari, tetapi tak dapat direduksi pada formula-formula dan aturan-aturan mekanis.
5) Olahraga merupakan bagian fenomena sejarah dan budaya, dan bersifat sosial dan interpersonal.
6) Olahraga berpusat pada suatu jenis kompetisi, yang diilhami semangat “will to power”.
7) Olahraga memiliki kelenturan format perwujudan, namun sekaligus ketertiban tingkat keseriusan.
Hasil investigasi filsafati Scacht ini mengisyaratkan suatu keterbukaan ontologis olahraga, dipandang dari filsafat ilmu. Artinya, ekstensifikasi dan intensifikasi ilmiah dapat terjadi sampai pada interaksi yang bahkan revolutif di tingkat ontologis, misalnya pergeseran objek studi. Apabila di penelitian ini objek studi Ilmu Keolahragaan dibatasi pada fenomena gerak manusia, maka seiring perkembangan teknologi olahraga dalam techno-sport, bisa jadi pengabsahan-pengabsahan permainan yang sangat baru dengan instrumen teknologis sebagai fokusnya, menghasilkan kesepakatan global tentang objek studi Ilmu Keolahragaan yang baru. Objek studi Ilmu Keolahragaan kemudian tidak hanya menyangkut gerak insani, namun juga prestasi piranti teknologi ciptaan “atlet”, seperti yang dapat diamati pada perlombaan “Tamiya” di Indonesia akhir-akhir ini. (Bukankah secara awam dan harfiah, pemaknaan gerak insani tidak tepat bila digunakan pada olahraga catur dan bridge?).
c. Pendidikan Jasmani dan Olahraga
Pendidikan jasmani adalah proses sosialisasi melalui aktivitas jasmani, bermain dan/atau olahraga yang bersifat selektif untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya. Meskipun orientasi pembinaan tertuju pada aspek jasmani, namun demikian seluruh skenario adegan pergaulan yang bersifat mendidik juga tertuju pada aspek pengembangan kognitif dan afektif sehingga pendidikan jasmani merupakan intervensi sistematik yang bersifat total, mencakup pengembangan aspek fisik, mental, emosional, sosial dan moral-spiritual (KDI Keolahragaan, 2000: 12).
Perlu ditegaskan bahwa pendidikan jasmani pengertiannya bukan pendidikan terhadap jasmani, tetapi pendidikan melalui jasmani. Secara definitif, Sukintaka menterjemahkannya sebagai berikut.
…proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, melalui aktivitas jasmani yang dikelola secara sistematik untuk menuju manusia Indonesia seutuhnya (Sukintaka, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 5).
Sedangkan dalam kaitannya dengan pendidikan secara nasional, berdasarkan SK Mendikbud 413/U/1987, maka definisi pendidikan jasmani adalah:
…merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan yang bertujuan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual, dan emosional melalui aktivitas fisik (Abdulkadir, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 5).
Pendidikan kesehatan adalah proses pembinaan pola atau gaya hidup sehat sebagai keterpaduan pengetahuan, nilai, sikap dan perilaku nyata. Tujuan yang ingin dicapai adalah kesehatan total, bukan dalam pengertian bebas dari cacat, tetapi sehat fisik, mental, dan sosial, seperti tercakup dalam konsep wellness. Antara sakit dan sehat bukan sebagai sebuah dikotomi, tetapi sehat bergerak dalam gerak kontinuum, sehingga fungsi dari pendidikan kesehatan adalah untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan seseorang (KDI Keolahragaan, 2000: 12-13).
d. Rekreasi
Rekreasi adalah satu bentuk kegiatan suka rela dalam waktu luang, bukan aktivitas survival, yang diarahkan terutama dalam bentuk rekreasi aktif berupa aktivitas jasmani atau kegiatan berolahraga. Pelaksanaannya harus sesuai dengan norma dan etika masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai mencakup aspek pemulihan kelelahan, relaksasi, atau penanganan stress untuk menggairahkan hidup agar lebih produktif melalui relativitas energi dalam suasana kehidupan yang riang, tanpa tekanan dan merasa bahagia, di samping memperoleh pengakuan dari lingkungan sekitar melalui jalinan hubungan sosial (KDI Keolahragaan, 2000: 13).
e. Tari
Tari menunjukkan fenomena peragaan keterampilan ketangkasan, sehingga dari pengungkapan keterampilan gerak ia masuk ke tapal batas kegiatan olahraga. Namun aktivitas jasmani tersebut lebih bernuansa persyaratan seni atau faktor estetika, meskipun tidak bisa dibantah bahwa dalam berolahraga banyak sekali dijumpai unsur-unsur seni dan keindahan (KDI Keolahragaan, 2000: 13-14).
Maksud dan Sasaran Ilmu Keolahragaan
Pertanyaan apa yang dikaji oleh suatu disiplin ilmu, merupakan pertanyaan mendasar yang dalam wilayah akademis filsafat ilmu tercakup dalam ontologi ilmu (Jujun, 2002: 35). Permasalahan maksud dan sasaran dari apa yang dikaji ilmu tertentu, merupakan permasalahan ontologis juga yang merupakan cerminan pertanyaan-pertanyaan final “untuk apa?”, atau “mengapa?”. Demikian juga dengan disiplin ilmu baru seperti Ilmu Keolahragaan. Empat dimensi berikut ini menghasilkan sudut pandang berbeda serta wilayah yang luas dari aspek-aspek yang menyusun keseluruhan jawaban dari pertanyaan ontologis “apa fungsi Ilmu Keolahragaan itu?”. Meskipun Ilmu Keolahragaan keberadaannya masih baru, sejarah Ilmu Keolahragaan atau ilmu aktivitas jasmani dapat dilacak ke awal-awal abad 20, tanpa mempertimbangkan interpretasi yang diberikan oleh para filsuf dan sarjana medis sebelum tahun 1900 (Haag, 1994: 23). Pembahasan empat dimensi dalam pertimbangan ontologis “maksud dan sasaran” Ilmu Keolahragaan berikut ini merupakan pendasaran yang sederhana dan dipersingkat.
a. Dimensi Historis
Pertimbangan historis menyajikan kerangka kerja luas dalam mencari jawaban atau dapat menyumbang persepsi masa kini Ilmu Keolahragaan secara lebih baik. Bagaimanapun, kesalinghubungan masa lalu, masa kini, dan masa depan merupakan paradigma dasar berpikir yang tak dapat diabaikan: mengetahui masa lalu, mengalami masa kini, membentuk masa depan.
Gerakan, permainan dan olahraga sebagai bagian budaya manusia memiliki sejarah yang menarik. Cara yang relatif objektif dalam mendapatkan data dalam perspektif historis adalah menyampaikan perhatian terhadap topik yang diberikan pada dokumen-dokumen kunci. Dengan menganalisa hasil ini secara kronologis, kecenderungan dan perkembangan dapat diikuti sampai situasi terkini (Haag, 1994: 25-27).
b. Dimensi Komparatif
Perspektif horizontal termasuk dalam dimensi komparatif; Ini berhubungan dengan perbandingan persoalan dan memberi jawab dalam sedikitnya dua perbedaan latar belakang sosial-kultural atau negara-negara. Dengan menyimpulkan informasi dari sudut pandang banyak negara, bermacam-macam gagasan dan solusi dapat sangat meningkat. Keuntungan penggunaan pendekatan komparatif berlipat tiga:
1. lebih banyak informasi dan sistem yang diperoleh tentang negara yang berbeda;
2. pandangan yang lebih baik tercapai dalam sistem sendiri;
3. dihasilkan ide-ide untuk perbaikan situasi/sudut pandang sendiri (Haag, 1994: 24).
Gerakan, permainan, dan olahraga adalah hal yang menarik, karena merupakan pengalaman-pengalaman tindakan manusia yang terikat secara kultural dan tersedia dalam informasi yang bervariasi. Pendekatan lintas kultural dan internasional secara kontinu mencapai nilai pentingnya, khususnya karena gerakan, permainan dan olahraga sebagai ekspresi non-verbal manusia pada dasarnya bersifat internasional. Oleh karena itu, studi-studi komparatif mungkin membantu mencapai jawaban yang solid dan benar terhadap pertanyaan yang diberikan: “apa fungsi Ilmu Keolahragaan itu?”. Jawaban-jawaban ini tak terbatas pada sisi pandang satu negara. Karena gerakan, permainan dan olahraga merupakan fenomena internasional yang khas, tampaknya sangat berguna dan perlu untuk mengikuti internasionalitas ini dalam perspektif komparatif (Haag, 1994: 29).
c. Dimensi Situasional/Status Quo
Dimensi situasional berarti, situasi sekarang dianalisa sangat hati-hati dalam rangka solusi ilmiah persoalan yang ada. Ini terutama terdiri dari analisis pustaka yang relevan dengan Ilmu Keolahragaan dalam dekade terakhir. Bahkan jika proses perkembangan Ilmu Keolahragaan ke arah kemantapan penuh dan diakui disiplin akademis berada pada tingkat memuaskan, opini yang ada cukup tersedia mengenai persoalan yang dihadapi. Bidang ilmiah yang baru dan sedang berkembang harus selalu didiskusikan dan ditinjau kembali meta-teorinya sendiri agar mencapai perkembangan besar dalam ranah ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, dimensi situasional mengenai pertanyaan “apa fungsi Ilmu Keolahragaan itu?” menjadi penting untuk dapat dipertimbangkan. Dua parameter digunakan dalam dimensi situasional: terminologi mengenai lembaga-lembaga Ilmu Keolahragaan dan perkembangan jurnal dan organisasi-organisasi Ilmu Keolahragaan pada level nasional dan internasional. Tidak diragukan bahwa dimensi situasional harus dipertimbangkan sebagai dasar tindakan masa depan. Satu kesalahan, jika sesuatu di masa lalu yang tetap konstan atau selalu berhubungan dengan apa yang disebut impian masa depan yang lebih baik, kehilangan perspektif kekinian, situasi aktual dan kondisi-kondisi konkret (Haag, 1994: 23 dan 31).
Kesulitan yang langsung tampak pada eksplorasi pendasaran ontologis Ilmu keolahragaan dalam dimensi ini adalah sifatnya yang cenderung berpijak pada ruang dan waktu tertentu, sehingga pola universalitasnya harus terlebih dahulu melewati kompromi-kompromi keilmuan global. Sejauh mana olahraga keindonesiaan tercatat dalam kamus dimensi situasional, ditentukan oleh sosialisasi global informasi keolahragaan Indonesia.
d. Dimensi Masa Depan
Dimensi ini lebih merupakan sifat dasar hipotetis dan bukan bukti secara ilmiah. Bagaimanapun, ini merupakan tugas perguruan tinggi dan sarjana yang termasuk dalam kerja universitas untuk berpikir ke depan, untuk mengembangkan perspektif dan untuk berkarya pada konsep masa depan, didasarkan pada susunan pengetahuan sejarah dan pemahaman kekinian yang seimbang.
Meskipun demikian, adalah logis/sah untuk melihat masa depan dengan mana perspektif dimensi futuristik ini dikembangkan berkenaan dengan lima persoalan relevansi dasar perkembangan ke depan Ilmu Keolahragaan: fenomena olahraga, internasionalitas, etika ilmu, metode penelitian, dan teori keilmuan. Lebih jauh, proyeksi-proyeksi dibuat untuk tiga tingkat dasar penelitian Ilmu Keolahragaan, yakni fase penemuan, realisasi dan aplikasi, dengan mana proses penelitian mengikuti muatan logis ini. Oleh karena itu, dimensi futuristik dapat menyumbang, apa yang disebut Willimczik, “Ilmu Keolahragaan interdisipliner – ilmu dalam pencarian identitasnya” (Haag, 1994: 24 dan 42).

A.    Paradigma dalam Konsep Epistemologi KDI-Keolahragaan
Dalam banyak bagian di buku KDI-Keolahragaan (2000) sering disebutkankondisi dan konsep pengembangan Ilmu Keolahragaan di Indonesia, baik diUniversitas maupun non-universitas. Pengembangan Ilmu keolahragaan lebih lanjutdi Indonesia dititikberatkan pada aspek IPA, tanpa meninggalkan IPS dan Humaniora(KDI-Keolahragaan, 2000: 27). Pernyataan ini tidak didukung dengan pernyataan dibagian-bagian sebelumnya, namun di berbagai universitas dalam operasionalnyamemang mengkonsentrsikan pengelolaan keolahragaan di bidang IPA sebagai tindak lanjut konsep ini.Kenyataan bahwa buku itu tidak mencantumkan daftar rujukan memang cukupmerepotkan, khususnya untuk melihat garis hubung dengan kiblat keolahragaan ditanah air. Namun pemaparan taksonomi batang tubuh Ilmu Keolahragaan yangsepenuhnya mengambil konsepsi Haag (2004), sedikit banyak menegaskan posisiyang diinginkan KDI-Keolahragaan, yakni orientasi epistemologis yang aplikatif-implemantatif dari pada eksploratif-inventif (diadopsi dari tulisan K. Bertens,Kompas, 2 Juli 2000) Artinya, pengembangan Ilmu Keolahragaan di Indonesia tidak lagi mempermasalahkan dasar metateoritis/filosofisnya, seolah-olah apa yangdikonsepsikan KDI-Keolahragaan dan dengan Deklarasi Ilmu Keolahragaan sebagaiilmu mandiri tahun 1998 sudah cukup untuk menyangga bangunan IlmuKeolahragaan di Indonesia dan pengembangannya. Hal inilah yang akan dijadikanlandasan pijak peneliti untuk menuju context of discovery landasan epistemologi padabagian berikut ini.





BAB III
SIMPULAN
Arah kajian Ilmu Keolahragaan secara khusus adalah ilmu tentang manusia berkenaan dengan perilaku gerak insani yang diperagakan dalam  adegan bermain, berolahraga dan berlatih (KDI Keolahragaan, 2000: 7). Karena itu, esensi dari fokus studi Ilmu Keolahragaan adalah studi dan pendidikan manusia dalam gerak. Tegasnya, arah kajian Ilmu Keolahragaan adalah gerak manusia (human movement), sehingga objek formalnya adalah gerak manusia dalam rangka pembentukan (forming) dan pendidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 7).




DAFTAR PUSTAKA
Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, Ilmu Keolahragaan Dan Rencana Pengembangannya,Jakarta : Depertemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2000

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.